SUMBER TULISAN
Untuk kesekian kalinya, suasana kerukunan umat beragama di bumi nusantara terganggu akibat ulah sekelompok orang–menurut Buya Syafi’i Ma’arif- yang tidak lagi menggunakan hati nurani dan akal pikirannya. Baru saja peristiwa amuk massa di Cikeusik, Pandeglang Banten terjadi yang menewaskan tiga orang jamaah Ahmadiyah, giliran Tumenggung, Jawa Tengah bergolak. Ratusan orang mengamuk, merusak dan memporak-porandakan tempat ibadah. Beberapa kendaraan roda empat dan roda dua dibakar.
Keragaman agama ternyata menimbulkan dilema tersendiri. Di satu sisi, memberikan kontribusi positif untuk pembangunan bangsa. Namun di sisi lain keragaman agama dapat juga berpotensi menjadi sumber konflik di kemudian hari. Konflik bisa saja terjadi. Penyebab konflik terkadang disebabkan adanya truth claim (klaim kebenaran). Namun yang paling banyak terjadi, konflik lebih dipicu oleh unsur-unsur yang tak berkaitan dengan ajaran agama sama sekali. Konflik sesungguhnya dipicu oleh persoalan ekonomi, sosial dan politik, yang selanjutnya di blow up menjadi konflik (ajaran) agama.
Menurut Prof. Ridwan Lubis--tokoh kerukunan umat beragama di Sumatera Utara--kerukunan hidup umat beragama adalah terbinanya keseimbangan antara hak dan kewajiban dari setiap umat beragama. Keseimbangan antara hak dan kewajiban itu adalah usaha yang sungguh-sungguh dari setiap penganut agama untuk mengamalkan seluruh ajaran agamanya. Pada saat yang sama, pengamalan ajaran agamanya tidak pula bersinggungan dengan kepentingan orang lain yang juga memiliki hak dan kewajiban untuk mengamalkan ajaran agamanya.
Kita percaya bahwa tidak ada satu agamapun di muka bumi ini yang mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan dan permusuhan. Ajaran normatif kitab suci selalu mendendangkan kedamaian dan ketenteraman antar sesama umat beragama. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan, penafsiran atau pemahaman pemeluk agama dapat menjadi pemicu terjadinya disharmonisasi antar pemeluk umat beragama. Seperti yang telah disebut di muka, truth claim dan doktrin keselamatan agama, kerap menjadi faktor munculnya disharmonisasi.
Dalam upaya membangun, menjaga dan mempertahankan kerukunan umat beragama, peran pemuka agama menjadi sangat penting. Pertemuan tokoh-tokoh lintas agama untuk berdiskusi, bermusyawarah, bahkan dalam tingkat tertentu berdebat adalah wahana yang cukup positif untuk membangun kebersamaan dan saling memahami . Di satu sisi, tingginya intensitas pertemuan tokoh-tokoh lintas agama memberikan pengaruh positif . Namun di sisi lain, dialog yang dikembangkan ternyata hanya menyentuh kalangan elit agama. Di dalamnya tidak saja terbangun simpati tetapi juga empati. Sayangnya, apa yang terjadi pada level atas ternyata tidak menetes ke bawah. Pendek kata, dikalangan akar rumput tidak terbangun saling memahami ajaran masing-masing agama. Tetap saja masing-masing pemeluk bertahan pada keyakinannya sendiri dan menganggap ajaran orang lain salah.
Untuk itulah diperlukan langkah-langkah yang lebih kreatif, segar dan baru, dalam rangka membangun kerukunan umat beragama. Bagi penulis, aspek yang perlu mendapatkan perhatian untuk membangun kerukunan umat beragama adalah dengan memperkuat kerjasama dalam bidang mu’amalah (habl min al-nas). Disebabkan wilayah teologi adalah hal yang tak mungkin didialogkan, setiap pemeluk agama absah untuk meyakini jalan (syari’ah) yang dipilihnya adalah yang paling benar. Pemeluk agama harus yakin, kebenaran ajaran agamanya atau jalan Tuhannya tidak disebabkan karena jalan orang lain salah.
Wilayah yang paling mungkin dicari titik temunya adalah mu’amalah. Menjadi tugas pemeluk agama untuk mempertemukan ummatnya dalam ranah mu’amalat. Bisa dalam bentuk olahraga, tampilan budaya, seni dan kegiatan yang memiliki nilai humanisnya. Menjadi lebih baik apa bila pertemuan itu tidak menghadapkan kelompok agama tertentu dengan penganut lainnya. Akan tetapi sedapat mungkin, dibaurkan sehingga semuanya menjadi lebur.
Satu hal yang bagi saya tidak bisa ditawar-tawar lagi adalah kerukunan itu adalah harga mati bagi negara RI. Untuk itu, kerukunan harus terus dipertahankan kendatipun kejadian belakangan ini, kerusuhan dan amuk massa atas nama agama membuat banyak pihak pesimis. Bahkan ada yang mengatakan, kita berpotensi menjadi negara gagal karena tidak berhasil mengawal pluralitas. Sekali lagi, amuk massa yang terjadi di Indonesia beberapa saat yang lalu tak boleh menyurutkan langkah kita.
Satu hal yang perlu diwaspadai, persoalan kerukunan umat beragama tidak selalu kasat mata. Tidak selamanya tampak jelas dipermukaan. Terkadang masalah kerukunan ini ibarat api dalam sekam. Kerukunan menyimpan sisi-sisi yang bersifat laten dan potensial. Ia bisa mencuat kepermukaan dan meledak, membakar apa yang ada disekitarnya sehingga sulit untuk dipadamkan. Dengan demikian, dibutuhkan kea`rifan untuk mengelola kerukuan umat beragama ini.
Dalam kontek inilah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: Pertama, kelangsungan kehidupan bangsa ini tidak hanya terpikulkan kepada penganut satu agama tertentu saja, akan tetapi tanggung jawab seluruh komponen bangsa Indonesia tanpa kecuali. Dan karena itu kesadaran terhadap prinsip egaliter di kalangan masyarakat perlu lebih dikembangkan. Kedua, masyarakat kita hendaknya dapat hidup rukun sekalipun mereka menganut agama dengan ajaran teologi yang berbeda karena dengan rukunnya masyarakat memberi peluang yang lebih besar bagi mereka untuk mengamalkan ajaran agamanya secara paripurna. Tetapi sebaliknya manakala mereka hidup dalam suasana penuh kecurigaan maka semakin kecil peluang mereka melaksanakan perintah agamanya secara baik. Ketiga, masyarakat hendaknya dapat disadarkan bahwa perbedaan itu tidak sama dengan permusuhan. Keempat, umat beragama hendaknya menyadari bahwa kebenaran praktis yang dimiliki setiap agama selalu memiliki misi universal dan tentunya berdimensi kemanusiaan (inklusif). Oleh karena itu, eksistensi sebuah agama pada dasarnya ditentukan bukan oleh kekuatan politik-birokrasi akan tetapi didasarkan pada sejauhmana kontribusinya kepada nilai-nilai universal kemanusiaan. Semakin besar sumbangan kemanusiaan yang diberikan suatu agama, maka dengan sendirinya semakin besar peluang memberi corak bagi perkembangan kemanusiaan di masa depan.
Berangkat dari paradigam di atas, jelaslah bahwa kerukunan umat beragama pada dasarnya bukanlah kebutuhan pemerintah atau segelintir pemuka agama saja. Kerukunan umat beragama menjadi kebutuhan seluruh masyarakat agar ia dapar memperoleh kehidupan yang lebih bermakna. Upaya membangun dan mempertahankan kerukunan umat beragama merupakan tugas kita semua sebagai anak bangsa. Lebih dari itu, ikhtiar mulia ini sejatinya tidak boleh berhenti walau besok dunia akan kiamat. Wallahu a’lam.